Joglo merupakan rumah tradisional Jawa khususnya Jawa Tengah, yang umumnya terbuat dari kayu Jati (Tectona Grandis Sp.). Istilah Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil filosofis bentuk sebuah gunung. Pada mulanya filosfis bentuk gunung tersebut diberi nama atap Tajug, tapi kemudian berkembang menjadi atap Joglo atau Juglo (Tajug Loro = Dua Tajug ~ penggabungan dua Tajug). Dalam kehidupan manusia Jawa -gunung sering dipakai sebagai idea bentuk yang dituangkan dalam berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa.
Konstruksi atap Joglo ditopang oleh Soko Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah. Jumlah ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagai Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat.
Istilah Guru digunakan untuk menunjukan bagian utama (inti) dari sebuah konstruksi Joglo. Soko Guru menopang sebuah konfigurasi balok yang terdiri dari Blandar dan Pengeret yang disebut sebagai Pamidhangan atau Midhangan.
Menurut naskah "Kawruh Kalang" konfigurasi Blandar-Pengeret inilah yang menjadi patokan, acuan, rujukan bagi perhitungan struktur keseluruhan Joglo. Semua ukuran dan dimensi struktur serta bangunan mengacu pada ukuran dan dimensi Blandar-Pengeret tersebut, berdasarkan standar perhitungan tertentu yang disebut sebagai Petungan.
Berikut petikannya :
"Tembung midhangan punika mirit wujudipun angemperi pundhaking griya, manawi mirid parlunipun tiyang anindakaken damel griya (ukuraning griya) nama wau leresipun papundhen, dening kajeng midhangan sakawan iji punika ingkang lajeng manjing nama: guru. Wondene saka ageng sakawan winastan saka guru, leresipun: sakaning guru, utawi saka ingkang nyanggi guru, amargi sasampuning wujud catokan sakawan, sakatahing ukur bade pandamelipun babalungan ageng alit saha panjang celak, tuwin tumpang-tumpangipun sadaya, sami mendhet ukur saking salebeting gagelengan kajeng sakawan wau, boten saged tilar utawi boten kenging kaempanan saking dugi-dugi kemawon."
"Di sini keempat batang kayu yang membentuk midhangan (pamidhangan, balandar-pangeret) itu lalu mendapatkan sebutan yaitu guru. Adapun keempat batang saka (tiang) yang besar-besar itu lalu dinamakan sakaguru, yang lebih tepatnya adalah sakaning guru atau saka ingkang nyanggi guru (saka yang menyangga guru). Penamaan ini disebabkan oleh karena setelah terwujud menjadi empat buah cathokan maka segenap pengukuran dalam membuat besar-kecilnya balungan griya maupun segenap tumpang, sama-sama mengambil patokan ukuran pada keempat batang balandar-pangeret tadi. Jadi, mengukur itu tidak boleh sekadar menduga-duga atau asal mengukur semata."
Karena sifat keutamaan itulah maka konfigurasi Blandar-Pengeret diistilahkan sebagai Guru. Sedangkan 4 buah tiang penopangnya disebut sebagai Soko Guru atau Sakaning Guru (tiang yang menyangga Guru).
Hal-hal tersebut di atas mencerminkan manusia Jawa yang dapat digolongkan sebagai golongan masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya. Yang meyakini kehidupan ini dipengaruhi kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (Jagad Alit atau Mikrokosmos) dan kekuatan yang muncul dari luar dirinya atau alam sekitarnya (Jagad Gede atau Makrokosmos). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk Rumah Joglo merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric , yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya.
Hal ini merupakan hasil karya manusia Jawa dalam mendesain bangunan Joglo melalui proses trial by error mengingat letak geografis arsitektur bangunan Joglo yang berada di daerah Gempa III (gempa sedang) yang membentang sepanjang Cirebon sampai Banyuwangi.
Struktur Tajug
Struktur Joglo
Konstruksi atap Joglo ditopang oleh Soko Guru (tiang utama) yang berjumlah 4 buah. Jumlah ini adalah merupakan simbol adanya pengaruh kekuatan yang berasal dari empat penjuru mata angin, atau biasa disebut konsep Pajupat. Dalam konsep ini, manusia dianggap berada di tengah perpotongan arah mata angin, tempat yang dianggap mengandung getaran magis yang amat tinggi. Tempat ini selanjutnya disebut sebagai Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat.
Struktur Soko Guru
Istilah Guru digunakan untuk menunjukan bagian utama (inti) dari sebuah konstruksi Joglo. Soko Guru menopang sebuah konfigurasi balok yang terdiri dari Blandar dan Pengeret yang disebut sebagai Pamidhangan atau Midhangan.
Tiang Atau Saka
Analisis Kolom Pada Soko Guru
Menurut naskah "Kawruh Kalang" konfigurasi Blandar-Pengeret inilah yang menjadi patokan, acuan, rujukan bagi perhitungan struktur keseluruhan Joglo. Semua ukuran dan dimensi struktur serta bangunan mengacu pada ukuran dan dimensi Blandar-Pengeret tersebut, berdasarkan standar perhitungan tertentu yang disebut sebagai Petungan.
Berikut petikannya :
"Tembung midhangan punika mirit wujudipun angemperi pundhaking griya, manawi mirid parlunipun tiyang anindakaken damel griya (ukuraning griya) nama wau leresipun papundhen, dening kajeng midhangan sakawan iji punika ingkang lajeng manjing nama: guru. Wondene saka ageng sakawan winastan saka guru, leresipun: sakaning guru, utawi saka ingkang nyanggi guru, amargi sasampuning wujud catokan sakawan, sakatahing ukur bade pandamelipun babalungan ageng alit saha panjang celak, tuwin tumpang-tumpangipun sadaya, sami mendhet ukur saking salebeting gagelengan kajeng sakawan wau, boten saged tilar utawi boten kenging kaempanan saking dugi-dugi kemawon."
"Di sini keempat batang kayu yang membentuk midhangan (pamidhangan, balandar-pangeret) itu lalu mendapatkan sebutan yaitu guru. Adapun keempat batang saka (tiang) yang besar-besar itu lalu dinamakan sakaguru, yang lebih tepatnya adalah sakaning guru atau saka ingkang nyanggi guru (saka yang menyangga guru). Penamaan ini disebabkan oleh karena setelah terwujud menjadi empat buah cathokan maka segenap pengukuran dalam membuat besar-kecilnya balungan griya maupun segenap tumpang, sama-sama mengambil patokan ukuran pada keempat batang balandar-pangeret tadi. Jadi, mengukur itu tidak boleh sekadar menduga-duga atau asal mengukur semata."
Karena sifat keutamaan itulah maka konfigurasi Blandar-Pengeret diistilahkan sebagai Guru. Sedangkan 4 buah tiang penopangnya disebut sebagai Soko Guru atau Sakaning Guru (tiang yang menyangga Guru).
Hal-hal tersebut di atas mencerminkan manusia Jawa yang dapat digolongkan sebagai golongan masyarakat archaic yang menempatkan kosmologi sebagai sesuatu yang penting dalam hidupnya. Yang meyakini kehidupan ini dipengaruhi kekuatan yang muncul dari dirinya sendiri (Jagad Alit atau Mikrokosmos) dan kekuatan yang muncul dari luar dirinya atau alam sekitarnya (Jagad Gede atau Makrokosmos). Sehingga perwujudan dari konsep bentuk Rumah Joglo merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat dipengaruhi oleh geometric , yang sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat tergantung pada kekuatan alam lingkungannya.
Rumah Joglo memiliki struktur utama berupa struktur Rongrongan, yang terdiri dari :
- Umpak
- Soko Guru
- Sunduk
- Sunduk Kili
- Pengeret
- Blandar
Tumpangsari merupakan pengakhiran dari struktur Rongrongan ditopang oleh Beladar dan Pengeret. Tumpangsari merupakan susunan balok menyerupai piramida, dan bisanya dihiasi oleh ukiran yang sangat indah dan berfungsi menopang bagian langit-langit Joglo (pamindhangan).
Struktur Rongrongan Joglo
Tumpangsari merupakan susunan balok bertingkat pada bangunan Joglo.
Secara struktural berfungsi sebagai penopang atap Joglo. Sedangkan fungsi arsitektural -merupakan bagian dari langit-langit utama struktur Rongrongan (Umpak-Soko Guru-Sunduk-Belandar). Tumpangsari ditopang langsung oleh balok Blandar dan Pengeret.
Biasanya Tumpangsari dipenuhi oleh ukiran yang sangat indah dan merupakan center pointbagi interior bangunan Joglo.
Struktur Tumpangsari Dalam
Struktur Tumpangsari Luar
Tumpangsari terbagi menjadi 2 bagian yaitu Elar dan Elen, dijabarkan sebagai berikut :
A. Elar
• Berada diposisi lingkar luar konfigurasi Blandar-Pengeret ;
• Berfungsi sebagai penopang usuk dan struktur atap lainnya ;
• Berjumlah ganjil yaitu 3 (tiga) atau 5 (lima).
B. Elen
• Berada diposisi lingkar dalam konfigurasi Blandar-Pengeret;
• Berfungsi sebagai langit-langit struktur Rongrongan dan menopang papan penutup langit-langit (Pamindhangan);
• Berjumlah ganjil yaitu 5 (lima), 7 (tujuh), atau 9 (sembilan).
Tumpangsari pada bangunan Joglo terbagi menjadi 2 grid persegi empat yang sama dan simetris, yang dipisahkan dan ditopang tepat ditengah-tengah oleh balok Dadapeksi.
Hubungan antara Soko Guru - Sunduk -Sunduk Kili menggunakan sistim Purus. Sedangkan antara Soko Guru - Pengeret & Blandar menggunakan sistim Cathokan.
Analisis Purus Pada Saka Guru
Sistim persendian antara Umpak dan Soko Guru dapat berfungsi untuk mengurangi getaran pada saat bencana gempa bumi. Sedangkan sistem Purus & Canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap berlaku sebagai bandul yang menstabilkan bangunan saat menerima gaya gempa (berlaku seperti pendulum).
Analisis Sunduk
Purus Pada Sunduk
Dudur
Analisis Tumpang
Hal ini merupakan hasil karya manusia Jawa dalam mendesain bangunan Joglo melalui proses trial by error mengingat letak geografis arsitektur bangunan Joglo yang berada di daerah Gempa III (gempa sedang) yang membentang sepanjang Cirebon sampai Banyuwangi.
Perluasan ruang dilakukan dengan penambahan struktur di sekeliling struktur Rongrongan tersebut -dengan penambahan Soko Pengarak (tiang samping).
Bangunan Joglo dapat berfungsi sebagai ruang pertemuan (Pendopo) maupun rumah (Omah).
Pendopo merupakan bangunan yang bersifat publik sehingga bangunan Joglo hanya merupakan struktur terbuka tanpa adanya dinding pelingkup.
Sedangkan Omah merupakan hunian yang memiliki ruang yang bersekat-sekat. Biasanya Rumah Joglo memiliki dinding pelingkup konstruksi kayu, dan memiliki bukaan berupa jendela dan pintu Gebyok.